Penulis: Chris Bradford
Penerbit: Hikmah
Tebal: 474 halaman
Harga: Rp 59.500,-
Peresensi: Briliantina L Hidayat
Sudah hampir dua tahun ia menjadi awak kapal Alexandria yang dinahkodai ayahnya, dengan misi menemukan Jepang. Rute menuju kepulauan yang menjanjikan rempah-rempah itu selama ini hanya diketahui pelaut Spanyol dan Portugis.
Di tengah lautan, Alexandria terjebak badai hebat yang mengakibatkan kebocoran lambung kapal. Untung mereka berhasil berlabuh di sebuah teluk sunyi di Toba untuk perbaikan, dan kemudian berencana meneruskan perjalanan ke Nagasaki.
Malam menjelang keberangkatan setelah kapal berhasil diperbaiki, Alexandria mendapat serangan. Satu persatu awak kapal tewas tanpa ketahuan dari arah mana senjata penyerang berasal. Akhirnya anak kecil berumur 12 tahun itu harus menyaksikan ayahnya meninggal di tangan sosok bertopeng dengan mata satu yang berwarna hijau. Sosok itu ternyata mengincar rutter, panduan navigasi berharga milik sang nahkoda. Rutter dan si bocah terselamatkan hanya karena keberhasilan salah satu awak kapal meledakkan gudang amunisi sebelum ia sendiri tewas.
Jack Fletcher, si bocah, jadi satu-satunya awak kapal yang selamat. Keberanian dan kebaikan hatinya membuatnya diangkat anak oleh samurai hebat yang menyelamatkannya, Masamoto Takeshi. Bersama dengan Yamato anak Masamoto dan Akiko keponakan samurai tersebut, mereka berangkat ke Kyoto menimba ilmu samurai di Niten Ichi Ryu, ‘Sekolah Aliran Utama Dua Surga’ yang dikelola Masamoto.
Niten Ichi Ryu sangat disiplin dalam mengajar siswa-siswanya. Ilmu berkuda, memanah, bela diri tangan kosong, bela diri dengan senjata, dan meditasi dalah beberapa ilmu penting yang mereka pelajari. Di sekolah ini pula Jack mendapat seorang musuh bebuyutan, Kazuki. Kazuki dan kroni-kroninya bahkan berhasil kembali menghasut Yamato untuk membenci Jack. Padahal sebelumnya Yamato pernah memiliki perasaan benci yang kemudian ia pupus karena hutang budinya kepada Jack.
Kebencian Kazuki ini membuat Niten Ichi Ryu harus mempertahankan kehormatan sekolah dan bertanding taryu-jiai dengan sekolah saingan, Hagyu.
Di sela semua latihan berat, permusuhan, persahabatan, kebencian, dan rasa rindu kampung halaman yang dialami Jack, ia masih dihantui rasa takut bahwa ninja pembunuh ayahnya, Dokugan Ryu atau Si Mata Naga (yang ternyata juga merupakan ninja pembunuh anak tertua Masamoto) akan kembali untuk mendapatkan rutter yang masih ada di tangannya.
Novel ini hadiah hiburan dari lomba resensi The Last Olympians yang diadakan Mizan Publishing tahun lalu beserta empat novel lain. Ya ampuuuun, baru dibaca sekarang? Hihihi. Soalnya di antara saat itu dengan sekarang terlalu banyak novel bagus yang bermunculan. Jadinya kelupaan. Dan ternyata begitu aku baca malah nggak bisa naruh sampai kelar satu jilid (sekarang sedang nyambung bacabook-2).
Formula novel ini sih mirip-mirip dengan segala novel, film, atau cerita laga. Sang protagonis belajar ilmu beladiri dan mengalami pelecehan karena kondisinya selama masa belajar. Si Jack, dia dilecehkan teman-teman seperguruannya karena ia seorang gaijin (orang asing/orang barbar) di mata orang Jepang. Posisinya sebagai anak angkat Masamoto tidak menolongnya di pergaulan. Hanya Akiko yang tulus menjadi temannya. Setelah berkali-kali kalah dan membuat kesalahan, akhirnya Jack dihadapkan pada satu ujian untuk membuktikan keberanian, keahlian, kepandaian, dan kemudian kebaikhatiannya.
Tetapi mungkin karena masih berformat novel, belum film, dan tidak ada budaya pop yang menjadi latar belakang (karena setting yang digunakan Chris Bradford adalah Jepang di abad 17) membuat novel ini bisa mengeluarkan aura sastra di mataku. Kemampuan Chris Bradford meramu cerita laga dengan bumbu budaya Jepang yang kental terbaca syahdu (wueeek, bahasanya!).
Meski alurnya pelan, jangan harap novel ini akan membosankan. Serbuan istilah-istilah berbahasa Jepang membuatku tidak sempat menguap. Novel yang sudah meraih beberapa penghargaan bergengsi ini memang pantas dikoleksi untuk konsumsi keluarga. Mengapa?
- Terjemahannya bagus. Membuat jalan ceritanya mengalir lancar bahkan bagi anak yang masih menjelang remaja.
- Jalan ceritanya tidak banyak berlompatan, memudahkan.
- Semangat pantang menyerah yang dimiliki Jack terasa menular. Aku yang baca saja langsung ngerasa heroik banget begitu kelar satu buku ^_^
- Tidak ada adegan seks, tidak ada flirting. Hanya rasa suka karena kagum yang muncul. Nggak tau deh di sekuel-sekuel selanjutnya.
- Banyak filosofi yang bisa kita petik dan renungkan sambil menikmati asiknya novel ini.
Untuk cover-nya, predictable deh sebagai cerita dengan genre ini. Tapi nggak bisa dikomplain karena memang seperti itu cover yang digunakan di edisi aslinya (beda coloring doang). Komplainku hanya:
- Kemiripan book-1 dengan book-2 yang bikin aku sering tertukar-tukar saat ngambil .
- Dan judulnya itu lho … agak terlalu klise. Kita sering menemukan kata-kata: samurai dan warriordi film-film laga tahun 80-an. Tapi gabungan keduanya? Hadoooh.
- Yang terakhir nih: (aduh aduh aduh maaf) Kok bau kertasnya gak enak ya? Agak-agak kecut gitu. Tidak sekualitas novel-novel terbitan Hikmah/Mizan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar