Judul: Percy Jackson & The Olympians: The Last Olympian (Dewi Olympia Terakhir)
Penulis: Rick Riordan
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Mizan Fantasi, Juni 2010
Tebal: 454 halaman
ISBN: 9789794335901
Nama Peresensi : Rini Nurul Badariah
Dalam artikel di blognya, Why Writing a Fat Fantasy Series, Kate Elliott memaparkan bahwa novel multivolume (yang berkembang lebih dari sekadar trilogi) biasanya lahir karena cerita membutuhkan ruang yang cukup banyak. Tepatnya, penulis sendiri tidak menduga bahwa jalan cerita yang ditorehkannya dapat melebar sedemikian rupa sehingga tiga buku saja tidak dapat menampungnya. Di lain pihak, ada kalangan pembaca yang beranggapan bahwa suatu seri dipanjangkan lantaran penulis begitu menikmati kelarisan karyanya serta enggan menggali sesuatu yang baru, dalam arti gagasan segar yang sama sekali tidak berkaitan dengan seri yang telah lahir dari tangan si pengarang sebelumnya. Kondisi tersebut dipicu oleh pembaca pula, yang cenderung malas memberi kesempatan kepada keterbaruan, baik buah pena yang muncul kemudian maupun nama penulis yang sama sekali belum dikenal dibandingkan mereka yang dipandang sebagai ‘jaminan mutu’.
Fenomena di atas terbilang wajar, meskipun tidak patut dibiarkan sehingga blantika bacaan fantasi yang begitu subur akan minat masyarakat, termasuk di Indonesia, menjadi surut dan kering. Tak ayal lagi, Harry Potter masih menjadi parameter buku fantasi yang prima dan melekat dalam hati konsumen genre ini. Meskipun demikian, komentar kritis yang mengemuka membuktikan bahwa pembaca jengah oleh kalimat testimoni yang melontarkan bahwa buku X tidak kalah seru dari Harry Potter atau buku Z bahkan melebihi karya emas J.K. Rowling tersebut. Di sinilah terbentang celah bagi fiksi-fiksi fantasi lain guna menambah wawasan baca dengan aneka inovasinya.
Pesona seri Percy Jackson and The Olympians adalah mitologi yang disodorkannya. Ini boleh disejajarkan dengan wayang, yang walaupun bukan merupakan urat orisinal budaya kita, relatif mengakar bagi sebagian besar penggemarnya. Wayang dan mitologi sama-sama acap mengalami modifikasi karena begitu cairnya, sehingga diharapkan kaum muda pun tertarik untuk menyusuri lebih jauh. Rick Riordan mengemas kombinasi mitologi dan dunia nyata melalui jembatan bernama anak-anak blasteran.
Seperti halnya dalam pewayangan, para dewa terkesan bertingkah sekehendak hati dan mempermainkan nasib manusia. Secara keseluruhan, benang merah mitologi adalah perebutan kekuasaan. Kendati sering dipandang remeh bahkan tidak diakui, Percy Jackson dan kawan-kawan terlibat dalam upaya pencegahan dibumihanguskannya Olympus sekaligus digulingkannya ketiga dewa utama oleh Kronos. Inilah karma yang berkelindan bagaikan lingkaran setan antara para dewa dan leluhur mereka, sebab satu sama lain tidak jarang menghalalkan segala cara. Lazim jadinya ketika keturunan mereka, yakni kaum blasteran yang kadang disebut pahlawan, ini pun disusupi motivasi yang berbeda-beda.
Kemenawanan sajian Riordan ialah penghindaran stereotipe. Semua karakter memiliki sisi gelap-terang tersendiri. Dalam buku kelima ini, sembari menyusuri muasal masing-masing, para pahlawan mencoba membuktikan potensi dan dihadapkan pada kemungkinan mengerikan sekiranya Kronos berhasil mengobrak-abrik dunia. Percy Jackson masih dituntun sejumlah mimpi yang memberi jeda dalam alur bertabur peperangan. Ini dikukuhkan oleh pendapat Riordan di halaman web pribadinya, bahwa salah satu indikator blasteran dewa adalah dilanda mimpi yang sambung-menyambung dan terasa amat ‘nyata’.
Tersebab buku ini diperuntukkan terutama bagi pembaca remaja, terjemahannya ramai oleh dialog yang dihiasi kata ‘nggak’. Ini tidak menjadi soal apabila Percy sedang bercakap-cakap dengan Grover, contohnya, namun terasa janggal ketika ia berhadapan dengan Ares atau Kronos. Dewi Olympia Terakhir akan semakin mudah dikonsumsi jika disertai daftar nama karakter atau sejenis peta mengingat banyaknya sosok yang tampil selama cerita bergulir.
Meski perangnya melelahkan, di sini kita akan berkenalan dengan dewa-dewi yang hampir tidak pernah mendapat sorotan, semisal Pompona sang Dewi Kemakmuran Romawi, dan Hecate (Hekate), dewi kegaiban, ilmu sihir, malam, bulan, hantu, dan necromancy. Pamungkasnya mungkin tidak sukar diprediksi, tetapi karena itulah Riordan mengerahkan segala daya untuk menjadikan Dewi Olympia Terakhir tetap elok dan mengesankan. Hasilnya adalah kisah yang seru, cocok bagi peminat petualangan yang diperciki nuansa thriller.
Riordan menunjukkan bahwa fiksi bergenre fantasi dapat digarap serius dan dijadikan materi pelajaran sekolah. Itikad itu, bagi saya, lebih memukau dibandingkan sederet penghargaan yang disabetnya sehingga saya berharap bahwa ia akan terus mengeksplorasi mitologi dengan rasa lain dalam karya-karya berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar