Oleh: Supriyadi Berpikir (Pengamat Sosial tinggal di Yogyakarta)
Agama akan selalu muncul meskipun sering dituduh sebagai akar konflik. Manusia akan selalu membutuhkan agama karena ilmu pengetahuan tak akan pernah sanggup mengatasi berbagai persoalan hidup manusia.
SEBUAH hal yang sering didiskusikan dan dipersoalkan umat manusia sepanjang sejarah ialah agama. Keberadaan agama mampu menciptakan berbagai situasi dan dimensi kehidupan.
Agama mampu menciptakan perdamaian. Di sisi lain, agama tidak jarang menjadi sebuah akar konflik umat manusia. Perang salib, serangan terorisme pada September 2001 terhadap Gedung WTC, dan berbagai konflik lainnya merupakan contoh kecil suatu kasus yang dilatari agama.
Meski demikian, agama juga dibutuhkan oleh umat manusia untuk tempat berlari serta kembali sebagai pelipur lara di kala problema kehidupan tengah menimpa. Agama juga dikambinghitamkan sebagai biang keladi legalisasi kekerasan.
Bahkan baru-baru ini muncul berbagai gerakan militansi atas nama agama, sehingga agama menjadi faktor legalitas kekerasan. Dengan demikian, persoalan agama merupakan sebuah hal yang selalu memiliki dua sendi yang kontradiktif. Lebih dari itu, agama pun kerap kali menjadi objek gugatan karena justru melahirkan problem sosial. Bahkan, mazhab ateis-komunis pun menyuarakan ketidakpercayaannya terhadap agama (Tuhan).
Meski demikian, penganut agama yang setia tentu membela agama yang dianutnya dan menganggap mazhab tak beragama sebagai kelompok tak beriman.
Komaruddin Hidayat adalah salah satu sosok yang membela agama dan meyakini bahwa agama akan selalu hidup sebagai pegangan dan pedoman umat manusia di dunia.
Hal itu telah dituangkannya melalui buku berjudul Agama Punya Seribu Nyawa sebagai pembelaannya terhadap agama. Usia agama atau kepercayaan (keyakinan) bisa jadi seusia sejarah manusia.
Agama hidup berdampingan dengan manusia. Karen Amstrong dalam The Case for God: Religion Really Means juga menyatakan bahwa kebutuhan manusia akan agama (Tuhan) atau kepercayaan terhitung ketika manusia pada zaman dahulu menyembah para dewa yang mereka yakini.
Umat manusia pada zaman dahulu mengilustrasikan Tuhan dengan suara, patung, cahaya, atau bahkan pohon besar.
Di era kini, agama telah membumi seiring kehadiran para nabi dan para pencerah budi di zaman dahulu yang membawa agama. Misi agama tidak lain ialah membawa kebahagiaan umat manusia dengan moralitas yang baik.
Hingga sekarang, agama pun berhasil mempertahankan identitasnya dengan pemeluk-pemeluk yang memperjuangkannya, meskipun banyak di antara kelompok umat manusia yang menentangnya. Tidak hanya itu, agama yang beragam pun tidak jarang menjadi pemicu terjadinya konflik antarumat beragama.
Hal yang juga menarik para pemerhati sejarah agama ialah fenomena keyakinan kepada Tuhan dan ritual keagamaan tak pernah hilang dan mati dari kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman, dengan berbagai ragamnya.
Padahal, beberapa pemikir modern memperkirakan agama akan mati dengan sendirinya, sekalipun tanpa dibasmi, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi sudah maju. Mereka berargumen, ketika persoalan hidup bisa dijawab dan diselesaikan dengan jasa iptek, Tuhan tidak lagi diperlukan.
Dengan kata lain, Tuhan diprediksi pensiun dini ketika manusia sudah mampu mengatasi ragam persoalan hidup melalui ilmu dan teknologi (hlm 275). Ternyata prediksi itu hingga kini belum menemukan pembenaran. Bah kan, prediksi tandingan pun muncul bahwa agama tidak akan mati melainkan akan kekal abadi karena memiliki seribu nyawa, bahkan lebih.
Tentu saja, perilaku umat yang jauh dari agama akan merasakan ke gersangan dan kekeringan jiwa. Dari hal itulah, pada gilirannya, agama menempati suatu posisi penting yang dibutuhkan umat manusia sebagai tempat kembali berteduh.
Dengan demikian, agama menjadi penyejuk jiwa manusia dengan siraman rohani yang ditawarkan. Menurut Prof Dr Quraish Shihab MA dalam kata pengantarnya, semua manusia sejak dahulu hingga kini, dan diduga keras hingga masa depan, tidak luput dari rasa cemas dan harap. Sekian banyak kecemasan yang tidak dapat terelakkan olehnya, sehingga banyak juga harapan yang menyertai hari-hari kehidupan manusia, yang semua itu pada akhirnya menjadikan manusia mengarah kepada Yang di Atas, berharap kecemasannya dielakkan dan harapannya dikabulkan.
Dari hal itulah manusia membutuhkan agama. Kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa saja menjadi pembantu manusia untuk mengelakkan rasa cemas dan harap.
Namun, rasa cemas dan harap itu tidak luput dari faktor jiwa yang tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegersangan jiwa tersebut menjadi faktor penting dalam rangka pen carian manusia terhadap Tuhan (agama). Sejarah telah membuktikan bahwa agama menjadi salah satu kebutuhan manusia selain kebutuhan secara fisik. Agama adalah kebutuhan batin (psikis) yang menjadi nutrisi sebagai jawaban atas dahaga jiwa manusia.
Sementara dalam menjawab problem kontemporer yang semakin sekuler, tentunya peran agama menjadi tereduksi dalam hal itu. Meskipun demikian, agama akan selalu hadir dan selalu hidup karena umat manusia tidak akan mampu meninggalkan agama secara totalitas walaupun bingkai sekularisme menggejala.
Lewat buku ini, pembaca diajak untuk membincangkan persoalan keagamaan seperti yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Jika lebih diperdalam lagi, sebenarnya agama sudah sangat kompleks sehingga melahirkan multitafsir. Tinggal bagaimana manusia bersedia mengimaninya. (M-1)
Resensi buku "Agama Punya Seribu Nyawa" yang ditulis dan dimuat di Surat Kabar Nasional (Koran Cetak) Media Indonesia pada Minggu, 14 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar