resensi terbaru, pengertian resensi, contoh resensi, resensi novel, resensi buku, resensi cerpen, resensi laskar pelangi, arti resensi, resensi film

Jumat, 08 Maret 2013

Wajah Paradoksal Indonesia



Sejarah Indonesia menunjukkan berbagai realitas yang bisa dinilai melalui berbagai perspektif. Perjuangan Indonesia dalam melawan kaum imperialis-kolonialis secara heroik menunjukkan jati diri masyarakat Indonesia yang berjiwa pahlawan. Sementara itu, sejarah besar di masa lalu ketika Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit memegang kendali kekuasaan, menunjukkan bahwa secara politik Indonesia memiliki kekuatan besar. Sejarah tersebut menunjukkan bahwa nusantara yang kini bermetamorfosis menjadi Indonesia adalah sebuah negara dengan sejarah besar.
Di lain sisi, secara geografis, Indonesia terletak pada posisi yang strategis untuk berbagai kepentingan. Hal itu didukung dengan kondisi iklim tropis yang bagus dan kekayaan alam yang melimpah. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya menjadi negara kaya dengan dukungan hasil alam yang melimpah dan memiliki sejarah besar di masa lalu. Hendaknya, hal itu membuat bangsa Indonesia mampu berada di jajaran atas negara-negara super power jika melihat Indonesia secara kesejarahan dan kondisi alamnya.
Namun, hal itu ternyata tidak terjadi. Indonesia sebagai negara super power masih menjadi mimpi yang hingga sekarang—era modern—masih belum terealisasi. Bangsa ini seolah menampakkan diri dengan wajah dualisme yang saling mendukung antara keunggulan dan kesenjangan, tetapi justru menjadi paradoksal. Sejarah besar dan kondisi alam yang memuat hasil kekayaan ternyata tidak menunjukkan taji bangsa menjadi negara yang adidaya. Hal itu sebagaimana diungkapkan secara kritis oleh para analis dan kritikus melalui buku yang berjudul “Indonesia Jungkir Balik”ini.
Banyak perkara paradoks yang terjadi dan meliputi bangsa Indonesia. Jika dianalogikan secara rasional, kekayaan bangsa Indonesia seharusnya bisa mendukung terciptanya kewibawaan bangsa menjadi negara adidaya. Akan tetapi, kenyataannya justru sebaliknya, Indonesia menjadi bangsa pesakitan karena maraknya eksploitasi hasil alam dan kekayaan negara oleh segelintir oknum. Akhirnya, kesenjangan pun terjadi antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin.
Tidak hanya itu, negara Indonesia merupakan negara yang beragama. Bisa dipastikan bahwa setiap KTP dari warga negara tertulis kolom agama yang secara resmi dilegalkan di Indonesia. Tempat-tempat ibadah pun banyak didirikan, bahkan hingga ke pelosok-pelosok. Akan tetapi, justru negara beragama ini tidak menunjukkan jati dirinya bahwa agama menjadi landasan dalam kehidupannya. Hal itu dibuktikan dengan maraknya tindakan korupsi di setiap lini dari kesempatan yang ada serta berbagai amoralitas yang turut memperparahnya.
Jika diperiksa kembali kitab-kitab suci masing-masing agama seperti Alquran, Injil, Alkitab, Weda, dan Bagad Gita, sungguh tidak ada dari kitab-kitab tersebut yang memerintahkan umatnya untuk korupsi. Malah kitab-kitab suci tersebut mengharamkan korupsi. Lantas, di mana letak kesalahannya? (hlm. 36).
Logika pun tidak sampai bisa mengurai benang kusut dari akar masalah di Indonesia ini yang dengan “rasa bangga” menduduki peringkat tinggi dalam hal korupsi. Dengan demikian, sejarah besar bangsa yang didukung oleh kekayaan alam dengan hasilnya yang sangat melimpah, tidak dapat mengangkat martabat bangsa jika masih banyak orang-orang dari dalam yang berjiwa “centeng” dan menyalahgunakan kekayaan tersebut untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, bukankah negara Indonesia ini adalah negara hukum? Yang di dalamnya hukum menjadi alat kontrol sosial? Akan tetapi, kenyataan justru berbicara lain. Hukum yang seharusnya menjadi landasan dalam mengontrol masyarakat ternyata diselewengkan dan direposisi pada tempat yang tidak semestinya. Buktinya, hukum tidak ditegakkan dengan adil melainkan berat sepihak kepada orang-orang yang bermodal.
Keberpihakan hukum yang tidak adil tersebut bisa dilihat dalam berbagai kasus pengadilan di negara ini. Bahkan, setiap hari media massa cetak memberitakannya dan program-program acara di televisi juga menyiarkannya. Betapa kita tidak mengelus dada ketika orang yang mengorupsi uang negara dengan kisaran nominal mencapai angka triliunan rupiah bisa dibebaskan sementara orang yang hanya mencuri sandal polisi di masjid justru dijebloskan ke dalam penjara.
Padahal, sebuah negara dapat berfungsi dengan baik ketika hukum ditegakkan di dalam negara itu. Terlebih lagi, ada satu set nilai moral yang berlaku, diresapi oleh semua penduduknya, dan dijalankan bersama-sama (hlm. 37).
Jika hukum dan aturan legal ditegakkan seadil-adilnya, tentunya ketertiban umum dan kesejahteraan sosial akan tercipta secara merata. Celakanya, hukum dan aturan banyak yang dilanggar. Bahkan, para elite pun dalam membuat aturan, terkesan semena-mena tanpa melihat situasi dan kondisi yang diatur dan menjadi objek peraturan. Banyak aturan yang dibuat oleh pemerintah yang ternyata tidak bisa membuat hidup kita teratur (hlm. 49).
Jika demikian adanya, wajah paradoksal Indonesia semakin tampak jelas. Kebesaran bangsa ini justru tertutupi oleh berbagai aib yang merendahkan bangsa besar Indonesia. Padahal, paradoksal yang bikin Indonesia ini jungkir balik tersebut tidak hanya terdapat pada aspek politik, tetapi hampir seluruh aspek, seperti dalam dunia pendidikan yang kian carut-marut, moralitas para publik figur, aspek sosial yang menampakkan wajah kesenjangan, dunia ekonomi yang menguatkan kapitalisme dan melemahkan rakyat proletar, dan lain sebagainya.
Tidak lain bahwa buku berisi kritik-kritik yang membangun ini sangat inspiratif untuk mengetahui kejungkirbalikan Indonesia sehingga secara jelas menampakkan wajah paradoks. Tentunya, rasionalitas kita akan turut berjungkir balik bila kita memikirkan realitas buruk yang ada di negara ini terus kian parah dan semakin menggejala. Dan, buku ini hanya memaparkan sedikit dari berbagai jungkirbaliknya negara Indonesia yang paradoks ini.

Supriyadi, pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
 Resensi di Koran Pikiran Rakyat (kolom KAMPUS), Kamis 7 Maret 2013



Judul Buku      : Indonesia Jungkir Balik
Penulis             : Prie GS dkk
Penerbit           : Noura Books, Jakarta
Cetakan           : PertamaDesember 2012
Tebal               : 79 + 98 halaman


Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Dapatkan Pemberitahuan Terbaru Tentang Modem Bolt, Klik Follow pada Gambar Berikut:

Resensi Buku Terbaru
Tags :

Related : Wajah Paradoksal Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar