Pascatragedi 11 September 2001. Islam di dunia—khususnya di Amerika Serikat—dilihat secara paradoks: sebagai sosok yang sangat menakutkan sekaligus mengundang rasa penasaran. Stigma buruk tentang Islam tersebut kerap kita jumpai dalam sebentuk ungkapan-ungkapan yang menyakitkan: Islam sebagai agama teror yang mendukung kekerasan, antikemanusiaan, antidemokrasi, tidak menyantuni perbedaan, dan membunuh nilai-nilai pluralitas.
Singkatnya, Islam dianggap sebagai agama yang sulit hidup berdampingan secara elegan dengan publik masyarakat modern yang bersifat multikultural. Seolah-olah tesis klasik dan kontroversial Samuel P. Huntington tentang clash of civilizationtidak lagi sebuah fantasi buruk di alam mimpi saja, tetapi benar-benar menjadi kenyataan pahit dan membekas di benak publik masyarakat Amerika.
Namun, di titik tertentu situasi mencekam semacam itu justru mengundang rasa penasaran dan ingin tahu yang amat mendalam bagi sebagian besar masyarakat Amerika—terutama kalangan akademis dan praktisi dialog antaragama—tentang Islam sebagai way of life sebagaimana dipraktikkan oleh jutaan umat manusia di planet bumi, termasuk di Amerika. Mereka mencoba menelusuri Islam secara emik, tidak sebatas melihat dimensi historis-faktual Amerika semata, melainkan juga passing over sampai ke ranah normatif-doktrinal dan mencoba melihat secara “adil” aspek historis dan mutakhir masyarakat Islam secara keseluruhan. Rasa ingin tahu secara lebih objektif itu merupakan hal yang sangat penting. Karena sebagian besar masyarakat Amerika sesungguhnya bermental “kuper”, hanya membaca dan menonton media cetak serta TV tertentu yang umumnya menampilkan citra buruk dan propagandis tentang Islam.
Seiring dengan kecenderungan positif tersebut, otomatis kajian-kajian Islam semakin semarak di Amerika: forum-forum debat/seminar yang bersifat terbuka, demokratis, dan rasional serta dialog-dialog tentang pelbagai wacana keislaman yang bersifat kritis, terus bermunculan bagaikan jamur di tengah gerimis hujan. Islam malah kini menjadi “primadona” baru publik Amerika. Mereka mencoba menelaah Islam sebagai sebuah identitas sosial, budaya, dan politik dari tokoh-tokoh Islam itu sendiri yang kebetulan tinggal di Amerika. Mereka seolah mendapat pencerahan baru.
Dalam konteks itulah sosok Imam Shamsi Ali menjadi sangat penting. Ia “hadir” atau “dihadirkan” untuk meruntuhkan mitos Islam sebagai sebuah ancaman global, khususnya ancaman bagi masyarakat Amerika. Imam Shamsi Ali mencoba mendakwahkan risalah Islam yang ramah, moderat, dan rasional kepada publik Barat, khususnya Amerika. Ia adalah pembawa risalah Islam cinta di samudra biru yang merindukan kedamaian. Karena spirit atau ruh dakwahnya yang nirkekerasan, kehadirannya terasa begitu bermakna.
Nah, pertanyaannya: Siapa sebenarnya Imam Shamsi Ali itu? Seperti apa pemikiran-pemikirannya? Kenapa ia meninggalkan Pakistan—yang dikenal sebagai pusat Islam garis keras—lalu berlabuh di Amerika? Meliputi aspek-aspek apa saja aktivitas dakwah dan kegiatannya? Bagaimana pengaruh dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam di Amerika? Melalui buku ini, Anda kami ajak mengenal lebih dekat sosok, pemikiran, dan kiprah Imam Shamsi Ali dalam “mendakwahkan” Islam secara cerdas dan elegan kepada publik Amerika. Selamat membaca dan mengail hikmah serta inspirasi di dalamnya!
[oleh: M. Deden Ridwan, CEO @NouraBooks]
0 komentar:
Posting Komentar